Unjuk rasa sudah menjadi warna tersendiri di Jakarta. Tak ada hari tanpa demonstrasi dalam skala besar dan kecil, tegantung isu, kepentingan, dan tentu saja uang. Uang menjadi faktor penting karena setiap unjuk rasa mengandung unsur pengerahan massa. Pengumpulan massa, transportasi, konsumsi, dan jasa menjadi faktor-faktor yang membutuhkan dukungan finansial dalam pengerahan massa. Bukan fakta baru jika dikatakan sebagian besar unjuk rasa di Ibu Kota menghadirkan massa bayaran. Mereka adalah pengunjuk rasa yang siap dikumpulkan tanpa tahu isu dan kepentingan yang disuarakan.
"Ada uang, sebutkan jumlah yang dibutuhkan, lokasi kumpul, lokasi demo, dan sediakan transportasinya. Demonya pasti beres," kata pria berinisial Pc dengan enteng, saat ditemuiKompas.com di Jalan Manggarai Utara, Manggarai, Jakarta Selatan, Rabu (5/12/2012).
Pc adalah salah seorang koordinator pengumpulan massa di kawasan Manggarai. Ia mengaku jasanya sering dipakai, baik oleh kelompok mahasiswa, aktivis, maupun organisasi buruh, bahkan pejabat pemerintahan. Secara santai ia berujar, isu dan kepentingan unjuk rasa sama sekali tidak menjadi perhatiannya, apalagi soal dampak yang ditimbulkan. Unjuk rasa menjadi sumber pendapatan tambahan bagi dia dan warga sekitarnya yang rata-rata tidak memiliki pekerjaan tetap.
"Mau tujuannya apa juga, hayo. Benar atau salah, nggak penting; yang penting ada orderan, kami turun," kata Pc sambil menyeringai.
Dari sisi jumlah, Pc mematok angka 500 orang sebagai jaminan yang pasti bisa disanggupi. Jika permintaan jumlah demonstran mencapai 1.000 kepala, ia meminta waktu untuk berkoordinasi dengan beberapa rekan lainnya.
"Kalau saya sanggupnya sampai 500 orang. Kalau sampai 1.000 saya harus koordinasi dulu sama teman-teman. Soalnya, massa saya yah warga sini juga, dari Gudang Kapuk, Manggarai Bawah, sama Manggarai Atas," kata Pc yang juga pemilik sebuah warung kopi di Jalan Manggarai Utara.
Pria yang sehari-hari juga berprofesi sebagai pengojek itu menerangkan, salah seorang rekannya yang berinisial Ty, warga Manggarai, disebutnya sebagai dedengkot pengumpulan massa demo. Rekannya itu terhitung pemain lama yang sudah memiliki jaringan ke beberapa wilayah penyuplai massa lainnya, yakni dari Johar Baru, Pulomas, dan Bendungan Hilir.
"Kalau dia sudah dedengkotnya kumpul-kumpul orang. Jaringannya luas dan sudah terorganisasi," kata Pc.
Unjuk rasa bisa berlangsung di mana saja, di depan kantor-kantor pemerintahan, perwakilan negara asing, kantor perusahaan, lokasi strategis yang menyita perhatian banyak orang hingga di mal dan pasar.
Soal bayaran, Pc meminta Rp 100.000 per kepala. Itu belum termasuk maka dan minum di lokasi unjuk rasa. Meski begitu, yang diberikan kepada peserta demo dari massa bayaran itu diperkirakan hanya separuhnya. Pasalnya, dua rekan Pc yang kerap ikut dalam aksi mengaku demikian.
"Saya biasa terima Rp 50.000," kata Ekky, seorang pengojek. "Kalau makan-minum, kadang dikasih, kadang nggak," timpal Jali, rekan Ekky.
Keduanya membenarkan bahwa massa yang biasanya dibawa Pc adalah warga sekitar permukiman mereka hingga ke wilayah Bukit Duri. Kegiatan demo tidak mengganggu aktivitas harian mereka. Alasannya, sebagian besar mereka tidak memiliki pekerjaan tetap, bahkan pengangguran.
"Kalau kami kan ngojek. Tinggal diatur saja waktunya. Yang lain ya ibu-ibu di sini atau anak-anak muda yang nganggur. Yang penting duitnya jelas saja, pasti mau," kata Ekky.
No comments:
Post a Comment