Pro dan Kontra MRT di Jakarta

Pro dan Kontra MRT di Jakarta
Keberlanjutan pembangunan megaproyek transportasi massal berbasis rel atau mass rapid transit (MRT) memerlukan peran masyarakat Jakarta. Hal ini diungkapkan oleh Wakil Ketua sekaligus Ketua Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI Triwisaksana dalam rapat dengar pendapat (RDP) mengenai Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Transportasi. 



Dikatakan oleh pria yang akrab disapa Sani itu, seluruh stakeholders harus dapat terlibat untuk mendapatkan rancangan model alat dan infrastruktur transportasi yang modern untuk menjawab kebutuhan warga Jakarta yang lebih luas. 

"RDP ini diharapkan jadi debat terbuka antarpemangku kepentingan sehingga nantinya DPRD melalui Balegda dapat merumuskan kebijakan terbaik bagi masyarakat, yaitu dengan alat angkut massal efektif, murah, dengan biaya sosial serendah mungkin," kata Sani di Gedung DPRD DKI, Jakarta, Selasa, (20/11/2012). 

RDP ini turut diikuti oleh berbagai eksekutif, LSM, ormas, dan media. Namun, dalam RDP itu, masih belum dapat ditemui titik terang terkait keberlanjutan proyek MRT. 

Ada pihak yang pro, tetapi tidak sedikit pula yang kontra dengan proyek MRT. Pihak eksekutif yang menghadiri RDP itu adalah Kementerian Perhubungan dan Badan Perencanaan Nasional (Bappenas). 

Direktur Bagian Transportasi Bappenas Bambang Trihartono mengatakan, proyek MRT ini memang seharusnya dievaluasi, tetapi sebaiknya Pemprov DKI tetap berkomitmen menjalankan proyek ini. 

"Karena proyek MRT ini sudah dimasukkan ke dalam rencana jangka menengah, diharapkan MRT sudah bisa dioperasikan tahun 2016. Oleh karena itu, secepat mungkin dapat dievaluasi dan komitmengoperasikan pada 2016 karena kebutuhan mendesak," kata Bambang. 

Direktur Lalu Lintas Menteri Perhubungan Hanggoro BW mengatakan, di DKI Jakarta, belum ada pembenahan terbaik untuk angkutan massal. Oleh karena itu, pihaknya memperjuangkan untuk mendapatkan pinjaman dan yang merespons adalah Pemerintah Jepang. 

"Dengan itu, didapatkan kontribusi Pemprov DKI dengan pemerintah pusat. Pemprov DKI sebesar 58 persen dan 42 persen untuk pemerintah pusat. Implementing agency dari DKI, kita tidak mau disebut MRT itu mahal. Terkait sosialisasi, tentunya nanti DKI dan PT MRT bisa melakukan lebih baik," kata Hanggoro. 

Sementara itu, salah satu pihak yang kontra dengan proyek MRT adalah Direktur Institut Transportasi Indonesia (Instran) Darmaningtyas. Ia mempersoalkan terkait pinjaman yang sudah disepakati dalam kerja sama proyek ini antara Indonesia dan Jepang. 

"Persoalannya pembangunan prasarana angkutan umum massal, pemerintah pusat maupun provinsi tidak perlu memakai pinjaman luar negeri. Itu akan menjadi bagian komponen menentukan tarif dan konsekuensi besar soal tarif," kata Darmaningtyas. 

Menurutnya, pemerintah pusat bisa turut berkontribusi dalam pembangunan proyek MRT itu dan tidak perlu menggunakan pinjaman dari Jepang. 

"Kalau kita meminta pinjaman dengan Jepang, sama saja kita dikadali, bangsa yang bodoh karena dikadali. Tahun 1945 mengusir penjajah Jepang, tetapi sekarang kita mengundang mereka danngadalin kita," ujarnya. 

Selain itu, kata dia, proyek MRT dapat mematikan bisnis di sepanjang jalur yang akan dilewati. Ia pun mencontohkan di Jalan Antasari, Jakarta Selatan. 

"Di Jakarta ini, mana ada jalan layang yang bisnisnya jalan. Kanan kiri Antasari harga tanah anjlok, kalau mati, Jakarta dan sekitarnya akan kembali belanja ke Glodok dan akan membuat sebuah kemacetan baru lagi. Belum lagi ketika hujan, haltenya digunakan untuk berteduh sepeda motor. Jadi, proyek ini harus dipertimbangkan betul," kata Darmaningtyas.

No comments:

Post a Comment